Pagi yang sunyi di kota Jakarta, matahari pun seakan enggan menampakkan sinarnya karena malu. Ya malu pada semua yang terjadi pada dunia ini. Malu pada setiap tetesan darah dan air mata yang tertumpah. Malu pada diriku yang bejat dan kotor. Aku bukannya mau melakukan semua ini, aku terpaksa, kebutuhan mendesakku. Bagaimana kubiarkan adik-adikku yang masih sekolah itu tidak bisa membayar uang sekolahnya dan mati kelaparan? Aku bukan kakak yang setega itu. Aku hanya mengirim mereka uang hasil pekerjaan kotorku, mereka tidak pernah bertemu denganku sejak aku menjadi target buronan polisi atas pembunuhan yang terjadi di awal mei tahun lalu.
Kota yang bodoh, keputusan yang bodoh. Kenapa harus kulakukan pekerjaan tolol itu. Kini hanya sesal yang panjang yang ku terima. Oh... wahai pencipta kesengsaraan dan kebahagiaan. Apakah memang aku lahir sebagai seorang pembunuh? Apakah sudah suratan takdirku Kau tulis dalam buku perjalanan hidupku. Mengapa tak Kau buat seindah dan semudah orang lain? Aku putus asa, aku menderita, terlintas semua jeritan minta ampun dan teriakan serta tangisan semua keluarga yang menyaksikan pembantaian sadis itu. Meskipun aku memakai penutup wajah tetapi aku tetap gelisah,. takut seolah-olah semua bayangan itu menghantuiku. Sekarang kemana aku akan pergi? Aku tak punya harapan.
Gereja....ya, gereja. Apakah rumahMu itu masih layak menerima kehadiranku. Tanganku ini berlumuran darah orang-orang yang tak ku kenal. Apakah masih ada pengampunan buatku? Apakah Engkau memaafkanku? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku bertobat? Bagaimana nasib mereka yang telah kehilangan orang-orang yang dikasihinya? Apakah aku harus menemui mereka? Aku takut...... Tunjukanlah keadilanmu itu padaku. Bersihkanlah dosa-dosaku.... Oh Yesus Tuhanku... Aku tak ingin jadi pembunuh.
Jakarta, 28 Februari 2011
- Igor -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar